Persikabo Degradas ke Liga 3: Harga Mahal Jalan Pintas Beli Lisensi Liga 1
infobola.live – Kiprah tragis Persikabo 1973 di kompetisi sepak bola Indonesia mencapai titik terendah. Setelah terjerumus dari Liga 1 ke Liga 2 pada musim lalu, Maung Hijau kini harus menelan pil pahit degradasi lagi. Klub tersebut resmi turun kasta ke Persikabo Degradas Liga 3. Perjalanan dramatis ini bukan hanya sekadar catatan statistik, melainkan sebuah konsekuensi jangka panjang dari keputusan instan yang diambil delapan tahun lalu: membeli lisensi untuk langsung berlaga di kasta tertinggi.
Sejarah mencatat, pada tahun 2017, klub yang saat itu bernama PS TNI membeli lisensi klub Persiram Raja Ampat. Langkah jalan pintas ini membuat mereka bisa langsung bersaing di Liga 1 tanpa melalui jalur promosi. Namun, kini, perjalanan klub itu berakhir tragis, terdegradasi dua kali beruntun dan dilanda krisis.
Drama Jual Beli Lisensi: PS TNI dan Jalan Pintas 2017
Keputusan pembelian lisensi pada 2017 memungkinkan PS TNI (yang kemudian berevolusi menjadi Persikabo 1973) langsung menjadi peserta Liga 1. Tindakan ini, meskipun legal pada masanya, selalu menjadi perdebatan sengit tentang etika dan keberlanjutan.
Instabilitas Identitas Klub
Awal Mula: PS TNI mengambil alih lisensi Persiram Raja Ampat untuk mengamankan tempat di Liga 1.
Gonta-Ganti Nama: Sejak saat itu, klub tersebut terus berganti-ganti nama dalam upaya mencari identitas dan basis suporter yang stabil. Mulai dari PS TNI, lalu menjadi PS Tira, kemudian Tira Persikabo, hingga akhirnya menjadi Persikabo 1973.
Oleh karena itu, instabilitas identitas dan branding ini disinyalir menjadi salah satu faktor yang menghambat klub membangun fondasi suporter fanatik yang kuat dan mengakar di Bogor. Dukungan komunitas yang terbelah dan loyalitas yang goyah seringkali menjadi masalah serius yang memengaruhi manajemen jangka panjang.
Konsekuensi Ganda: Degradasi Beruntun dan Krisis Finansial
Laju kencang yang dimulai dari jalan pintas akhirnya menemui akhir yang pahit. Persikabo 1973 kini menghadapi kehancuran ganda: prestasi di lapangan dan kondisi finansial.
Penurunan Drastis: Setelah bertahun-tahun berjuang di Liga 1, Persikabo terdegradasi ke Liga 2 pada musim sebelumnya.

Jatuh ke Liga 3: Belum sempat berbenah di kasta kedua, klub kini harus turun lagi ke Liga 3, sebuah pukulan telak yang membuat klub kembali ke titik amatir.
Selain itu, di balik kegagalan di lapangan, klub juga terjerumus ke dalam krisis finansial yang parah. Berita tentang penunggakan gaji pemain telah beredar beberapa kali, menggarisbawahi buruknya manajemen keuangan.
Jadi, krisis finansial ini bukan hanya sekadar efek samping, melainkan gejala dari model bisnis yang tidak berkelanjutan, yang diawali dengan ambisi besar yang tidak didukung oleh struktur keuangan yang kokoh.
Baca Juga : Persib Bandung ACL: Melaju Kencang, Siap Tantang Raksasa Arab Saudi Al-Nassr
Pelajaran Pahit: Fondasi Kuat Lebih Penting
Kisah Persikabo 1973 menjadi pelajaran penting bagi klub sepak bola Indonesia: fondasi yang kuat jauh lebih penting daripada lisensi instan.
Analisis Taktis dan Manajerial:
Lisensi Bukan Segalanya: Pembelian lisensi hanya menjamin tempat bermain, bukan kualitas manajemen, infrastruktur, atau basis penggemar. Klub butuh struktur organisasi profesional, manajemen keuangan yang transparan, dan program pembinaan yang jelas.
Stabilitas Jangka Panjang: Klub yang naik melalui jalur promosi biasanya memiliki basis pendukung yang loyal dan manajemen yang teruji di berbagai kasta. Persikabo kehilangan tahapan penting ini.
Perjalanan singkat di kasta tertinggi, yang berakhir dengan dua kali degradasi beruntun dan krisis gaji, adalah bukti nyata bahwa sebuah klub yang dibangun tanpa akar yang kuat akan rentan runtuh ketika menghadapi tekanan kompetisi dan finansial.
Peristiwa Persikabo Degradas ke Liga 3 adalah akhir dari sebuah era yang dibangun di atas jalan pintas. Kini, Persikabo harus memulai kembali dari nol, memperbaiki fondasi manajemen dan finansial, serta membangun kembali kepercayaan dari para pemain dan suporter.
Kisah Persikabo ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi otoritas liga untuk meninjau ulang regulasi pembelian lisensi. Sepak bola harus menjunjung tinggi meritokrasi, di mana tempat di kasta tertinggi diperoleh melalui prestasi di lapangan, bukan transaksi di meja negosiasi.
Bagaimana pendapat Anda? Apakah regulasi pembelian lisensi klub di Liga Indonesia perlu dihapus total untuk menjaga integritas kompetisi dan mendorong klub membangun fondasi yang kuat? Sampaikan pandangan Anda di kolom komentar!
